Ratusan warga Penghayat Kepercayaan Kakadangan Waringin Seta mengikuti acara Suronan di Padepokan Sayuran. (foto: rs-ib) |
Dengan mengambil topik “Gumregah Membangun Jati Diri dan Toleransi
Antar Umat Beragama” dalam perayaan Suronan tahun ini, komunitas penghayat
kepercayaan Waringin Seta mengajak seluruh anggota dan masyarakat umum untuk
terus menauladani ajaran kebudayaan leluhur khususnya budaya jawa dengan tidak
membedakan agama yang dianut.
Bertempat di kawasan Padepokan Waringin Seta yang berada di Bukit
Sayuran Desa Soko Kecamatan Jepon, Sabtu (31/10) lalu ada ratusan anggota dari
berbagai daerah se Indonesia serta masyarakat sekitar yang ikut meramaikan
tradisi Suronan dari siang hingga tengah malam.
Sejumlah sesaji dihadirkan dalam acara Suronan Waringin Seta (foto: tq-ib) |
Pada malam harinya pukul 19.00 WIB, para anggota penghayat
kepercayaan Waringin Seta dengan menggunakan pakaian adat jawa melakukan
sederetan upacara tradisional spiritual di dalam pedepokan yang dilanjutkan
dengan kirab sesaji dan gunungan. Kirab diiringi dengan pasukan obor dan petugas
pembawa payung bewarna kuning keemasan.
Usai kirab dari Padepokan Waringin Seta, semua sesaji dan gunungan
yang berisi makanan, buah-buahan dan jajanan tradisional itu diperebutkan oleh
masyarakat. Semua berbaur untuk mengalap berkah dari gunungan yang telah
didoakan para penuntun Kakadangan Waringin Seta.
Ardiyanto, Kepala Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) Kabupaten
Blora saat memberikan sambutan di acara tradisi Suronan itu mengapresiasi dan
mendukung kegiatan yang diselenggarakan Kakadangan Waringin Seta.
“Hingga saat ini masih ada 27 kelompok komunitas penghayat
kepercayaan di Kabupaten Blora. Namun yang masih aktif dan terdaftar hanya ada
19 kelompok. Dari 19 itu, 5 diantaranya berpusat di Blora yang salah satunya
Kakadangan Waringin Seta ini,” jelas Ardiyanto, Sabtu malam (31/10).
“Perayaan Suronan ini merupakan warisan ajaran leluhur kita di tanah
jawa. Semoga apa yang dilakukan sedulur Waringin Seta ini bisa menjadi tauladan
pelestarian ajaran kebudayaan leluhur bagi kelompok penghayat kepercayaan
lainnya, rahayu,” tegasnya.
Acara Suronan diakhiri dengan pementasan wayang kulit Ki Dalang Nuryanto dengan lakon Semar Mbangun Rasa Mbeber Jati Dhiri. (foto: rs-ib) |
“Nguri-uri kebudayaan spiritual leluhur nusantara seperti halnya
Suronan merupakan kewajiban kita bersama sebagai orang jawa. Disini tidak
membatasi perbedaan agama dalam menjalankan budaya spiritual, semua bisa
bergabung. Sejak didirikan pada tahun 1818, hingga kini masih berjalan dan
terus menjalankan budaya leluhur, inilah yang perlu dicontoh dan disengkuyung
sesarengan,” jelas Suntoyo.
Tradisi Suronan diakhiri dengan Pementasan Wayang Kulit Semalam
Suntuk dengan menampilkan Ki Dalang Nuryanto yang membawakan lakon “Semar
Mbangun Rasa Mbabar Jati Dhiri”. Pementasan didukung oleh pengrawit karawitan
Among Raos dari Blora dan sanggar seni Cahyo Sumirat dari Dukuh Pangkat Desa
Purwosari Blora. (tio-infoblora)
0 komentar:
Posting Komentar