Home » , , » Mengenal Ponpes An-Nur Seren, Mondok Sambil Sekolah Formal

Mengenal Ponpes An-Nur Seren, Mondok Sambil Sekolah Formal

infoblora.id on 9 Apr 2017 | 02.00

Aktifitas belajar di SMK An-Nur Seren Banjarejo yang terintegrasi dengan Pondok Pesantren An-Nur. (foto: dok-ponpes)
BLORA. Tidak pernah terpikir oleh KH Ali Muchdhor, S.Pd., M.Pd.I membangun dan memiliki sebuah pondok pesantren (Ponpes). Namun sejak menjadi pengurus Nahdlatul Ulama (NU) Blora tahun 1986, membuatnya kerap disindir rekan-rekannya. “Puluhan tahun dadi pengurus NU kok gak dhuwe pondok.” begitu sindiran rekan-rekannya ketika itu. Sindiran tersebut kerap terngiyang-ngiyang dalam pikiran KH Ali Muchdhor.

Sebelum memutuskan membangun ponpes, KH Ali Muchdhor sebenarnya telah mengasuh empat orang santri sekitar tahun 2006. Sembari bersekolah di MTs Maarif Blora, keempat orang itu menginap sekaligus mengaji di rumah KH Ali Muchdhor. Jarak MTs Maarif di Kota Blora dengan kediaman Ali Muchdhor di Dukuh Seren Desa Sendangwungu Kecamatan Banjarejo sekitar lima kilometer.

“Mereka menginap di rumah saya sekaligus bantu-bantu saya ngopeni (memelihara-red) sapi,’’ ujar suami dari Nyai Hj Sulini Afifah, S.Pd., SD menceritakan sejarah berdirinya pesantren, Kamis (6/4/2017).

Upacara bendera di lapangan utama SMK An-Nur sekaligus kawasan Ponpes An-Nur
milik KH Ali Muchdhor. (foto: dok-ponpes)
Keberadaan empat orang santri yang juga menjadi siswa di sekolah formal itu sekaligus untuk pembuktian bahwa sekolah maupun ngaji bisa berjalan beriringan. “Ketika itu saya ingin membuktikan anak sekolah itu mau gak diajari kitab kuning. Sebab ada persepsi di masyarakat yang memandang sekolah itu ganggu ngaji atau sebaliknya. Ternyata bisa dibuktikan. Awalnya mereka tidak bisa ngaji menjadi bisa ngaji sembari sekolah. Prestasi mereka di sekolah juga tergolong bagus. Jadi, sebenarnya bisa saling beriringan antara mondok dan sekolah,’’ tegas Ali Muchdhor saat ditemui di kediamannya, Kamis (6/4/2017).

Pernah menjabat kepala sekolah SD dan pengawas SD, membuat Ali Muchdhor memiliki banyak teman di lingkup guru maupun di Dinas Pendidikan Blora. Suatu ketika kepala Bidang Pendidikan Menengah (Dikmen) Dinas Pendidikan Blora yang ketika itu dijabat Marsono pernah menyarankan agar Ali Muchdhor membangun sebuah SMK. Saran tersebut bukan tanpa alasan. Di tahun 2007-2008 pemerintah pusat tengah gencar-gencarnya mengkampanyekan memperkuat SMK. Setiap daerah ketika itu diminta membangun SMK-SMK baru agar rasio SMK dan SMA bisa lebih imbang.

KH Ali Muchdhor bersama Hj.Sulini Afifah pengasuh Ponpes An-Nur.
(foto: dok-ponpes)
“Jenengan bangun SMK, Yi. Nanti saya bantu-bantu. Apalagi jenengan kan sudah punya pondok,’’ tandas Ali Muchdhor menirukan saran Marsono.

Dari saran itulah Ali Muchdhor memberanikan diri membangun sebuah SMK. “Ketika itu saya berpikir, pondok itu sulit maju jika tidak ditopang adanya sekolah formal di lingkungan pondok. Sekarang kan hampir semua pondok seperti itu, hanya beberapa pondok saja yang masih bertahan dengan tidak membuka pendidikan formal,’’ katanya.

Niat membangun sebuah pondok sekaligus SMK mendapat dukungan penuh keluarga dan rekan-rekannya. Bahkan sang mertua memberikan support khusus dengan mempersilahkan Ali Muchdhor menjual sapi.

“Kebetulan mertua saya itu orang berada, seorang modin di Seren yang ekonominya kuat. Saat hendak membangun masjid, saya bilang ke mertua saya. Pak, sapinya saya jual. Mertua saya mempersilahkannya,’’ lanjutnya.

Adapun pemilihan lokasi pembangunan di Dukuh Seren karena Ali Muchdhor bertempat tinggal di dusun tersebut. ‘’Saya asalnya dari Desa Plosorejo, Kecamatan Banjarejo. Di Dukuh Seren ini saya ikut istri,’’ tandasnya.

Keluarga besar pengasuh Pondok Pesantren An-Nur. (foto: dok-ponpes)
Didampingi kepala sekolah SMK An Nur, Purwanto, Ali Muchdhor yang juga ketua Yayasan An Nur menceritakan, saat kali pertama berdiri di tahun pelajaran 2008-2009, SMK An Nur membuka satu jurusan yakni jurusan Akutansi. Siswa yang mendaftar ketika itu sekitar 20-an orang. Beberapa dari mereka juga mondok di Ponpes An Nur yang masih berada satu komplek dengan SMK. Lambat laun SMK dan pondok berkembang.

Kini SMK mempunyai dua kompetensi keahlian yakni Akutansi dan Teknik Kendaraan Ringan. SMK An Nur juga telah terakreditasi BAN-S/M). “Jumlah siswanya kini sekitar 253 siswa. Satri saya yang pertama mondok ke saya juga mengajar di SMK An Nur,’’ kata bapak dari Wakil Bupati (Wabup) Blora H Arief Rohman ini.

Pembangunan MTs
Berbeda dengan pendirian SMK yang relatif lancar, pembangunan MTs An Nur, kata Ali Muchdhor, menemui sejumlah kendala. Dia yang juga menjabat wakil rois syuriah NU Blora ini mengungkapkan tidak sedikit pihak yang menentang pembangunan MTs An Nur. Mereka khawatir keberadaan MTs An Nur bisa berdampak pada menurunnya jumlah murid di sekolah yang sudah ada.

Santri mengikuti kegiatan Kirab Hari Santri Nasional 22 Oktober 2016 silam. (foto: dok-ponpes)
Ali Muchdhor menceritakan, awal mula berdirinya MTs An Nur. Menurutnya ketika itu ada enam orang santri yang memintanya mendirikan MTs. Sebab, selain ingin mondok, santri itupun hendak sekolah MTs. “Saya lantas berpikir, mosok saya harus belikan mereka enam sepeda untuk menuju sekolah MTs di kota. Apa tidak lebih baik di sini saja dibangun MTs,’’ paparnya.

Dari pemikiran itulah Ali Muchdhor mulai merintis pembangunan MTs. Setelah semua sarana dan prasarana terbangun, MTs itupun diresmikan. Tak tanggung-tanggung, peresmian dilakukan Ketua Umum PBNU KH Aqil Siraj, Kamis 10 Oktober 2013. Saat awal menerima siswa, tercatat jumlah siswa yang mendaftar sebanyak 54 orang. Kini jumlah siswa lebih dari 200 orang.

“Jadi sebenarnya pondok, SMK dan MTs ini masih baru, karena memang dari awal tidak bercita-cita mendirikan pondok pesantren,’’ kata kyai penyandang gelar magister psikologi pendidikan Islam dari Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang ini.

Lantaran sejak awal tidak pernah bercita-cita membangun pondok pesantren yang dilengkapi pendidikan formal, Ali Muchdhor pun sempat merelakan kitab kuning yang dimilikinya semasa mondok diberikan kepada rekan-rekannya yang menjadi kyai.

“Dulu saat awal-awal ngajar di pondok sendiri sempat bingung, lha wong kitabnya saya berikan ke teman-teman,’’ ucapnya.

Dia menambahkan selepas lulus SMP di Blora, Ali Muchdhor sempat nyantri di sejumlah pondok pesantren. Diawali di ponpes Annuroniyah Sulang, Rembang. Kemudian di ponpes Futuhiyyah, Mranggen, Demak. Selanjutnya di ponpes Mambaul Ulum, Pakis, Tayu Pati, ponpes Al Ittihad, Poncol Popongan Bringin, Kabupaten Semarang dan terakhir di ponpes Sirojul Hikmah, Tanggir, Singgahan Tuban. ‘’Saya mondoknya pindah-pindah. Setelah mondok, kemudian saya sekolah KPG ijasahnya SPG,’’ ungkap alumnus IKIP PGRI Semarang ini.

Ali Muchdhor menyadari, antar sekolah bersaing untuk mendapatkan siswa. Menjelang tahun pelajaran baru, sekolah-sekolah melakukan sosialisasi ke sekolah lainnya di jenjang yang lebih rendah. Menurutnya, hal itu wajar dan An Nur juga melakukan hal itu.

“Kita mempunyai kewajiban untuk terus meningkatkan kualitas pengajaran. Sekolah yang berbasis pondok pesantren Insya Allah akan semakin diminati masyarakat,’’ ujar Ali Muchdhor yang pernah menjadi PNS guru SD, kepala sekolah SD dan terakhir menjabat pengawas SD Kecamatan Banjarejo sebelum pensiun 1 Juli 2015.

Menurutnya, tidak semua siswa SMK dan MTs An Nur mondok di ponpes An Nur. Yang mondok hanya sekitar 85 orang, terbanyak adalah siswa MTs. Namun Ali Muchdhor menyatakan, pembelajaran di pondok juga diterapkan kepada para siswa MTs dan SMK. Mereka diharuskan sudah harus tiba di sekolah pukul 06.30 Wib. Proses pembelajaran diawali dengan sholat Dhuha. Selain itu, para siswa sekolah formal juga diupayakan bisa hapal Alquran minimal dua juz.

“Khusus untuk santri, minimal bisa baca kitab kuning. Oleh karena itu kepada mereka diajarkan nahwu shorof,’’ tandas kyai yang juga dosen di dua sekolah tinggi di Blora ini.

Selain pengajaran di ponpes dan sekolah, hal lainnya yang sempat terpikir oleh Ali Muchdhor adalah bagaimana kelak pondok dan pesantrennya itu bisa berkembang sepeninggal dia. Sebab, Ali Muchdhor melihat tidak sedikit pondok yang tutup setelah kyainya meninggal dunia.

“Dulu saat awal-awal membangun pondok dan sekolah, saya angan-angan bikin pondok itu mudah. Andaikan saya meninggal siapa yang meneruskan pondok, itu yang saya pikirkan. Tapi, Alhamdulillah, setelah saya punya menantu, saya rintis sekolah. Sehingga, andaikan saya meninggal kelak, sudah ada penerusnya,’’ pungkas pria kelahiran Blora, 15 Juni 1955 ini. (Muiz | ip-ib)
Share this article :

0 komentar:


 
Copyright © 2013. infoblora.id - All Rights Reserved