Aktifitas belajar di SMK An-Nur Seren Banjarejo yang terintegrasi dengan Pondok Pesantren An-Nur. (foto: dok-ponpes) |
Sebelum memutuskan membangun ponpes, KH
Ali Muchdhor sebenarnya telah mengasuh empat orang santri sekitar
tahun 2006. Sembari bersekolah di MTs Maarif Blora, keempat orang
itu menginap sekaligus mengaji di rumah KH Ali Muchdhor. Jarak MTs
Maarif di Kota Blora dengan kediaman Ali Muchdhor di Dukuh Seren Desa
Sendangwungu Kecamatan Banjarejo sekitar lima kilometer.
“Mereka menginap di rumah saya
sekaligus bantu-bantu saya ngopeni (memelihara-red)
sapi,’’ ujar suami dari Nyai Hj Sulini Afifah, S.Pd., SD
menceritakan sejarah berdirinya pesantren, Kamis (6/4/2017).
Upacara bendera di lapangan utama SMK An-Nur sekaligus kawasan Ponpes An-Nur milik KH Ali Muchdhor. (foto: dok-ponpes) |
Pernah menjabat kepala sekolah SD dan
pengawas SD, membuat Ali Muchdhor memiliki banyak teman di lingkup
guru maupun di Dinas Pendidikan Blora. Suatu ketika kepala Bidang
Pendidikan Menengah (Dikmen) Dinas Pendidikan Blora yang ketika itu
dijabat Marsono pernah menyarankan agar Ali Muchdhor membangun sebuah
SMK. Saran tersebut bukan tanpa alasan. Di tahun 2007-2008 pemerintah
pusat tengah gencar-gencarnya mengkampanyekan memperkuat SMK. Setiap
daerah ketika itu diminta membangun SMK-SMK baru agar rasio SMK dan
SMA bisa lebih imbang.
KH Ali Muchdhor bersama Hj.Sulini Afifah pengasuh Ponpes An-Nur. (foto: dok-ponpes) |
Dari saran itulah Ali Muchdhor
memberanikan diri membangun sebuah SMK. “Ketika itu saya berpikir,
pondok itu sulit maju jika tidak ditopang adanya sekolah formal di
lingkungan pondok. Sekarang kan hampir semua pondok seperti itu,
hanya beberapa pondok saja yang masih bertahan dengan tidak membuka
pendidikan formal,’’ katanya.
Niat membangun sebuah pondok sekaligus
SMK mendapat dukungan penuh keluarga dan rekan-rekannya. Bahkan sang
mertua memberikan support khusus dengan mempersilahkan Ali Muchdhor
menjual sapi.
“Kebetulan mertua saya itu orang
berada, seorang modin di Seren yang ekonominya kuat. Saat hendak
membangun masjid, saya bilang ke mertua saya. Pak, sapinya saya jual.
Mertua saya mempersilahkannya,’’ lanjutnya.
Adapun pemilihan lokasi pembangunan di
Dukuh Seren karena Ali Muchdhor bertempat tinggal di dusun tersebut.
‘’Saya asalnya dari Desa Plosorejo, Kecamatan Banjarejo. Di Dukuh
Seren ini saya ikut istri,’’ tandasnya.
Keluarga besar pengasuh Pondok Pesantren An-Nur. (foto: dok-ponpes) |
Kini SMK mempunyai dua kompetensi
keahlian yakni Akutansi dan Teknik Kendaraan Ringan. SMK An Nur juga
telah terakreditasi BAN-S/M). “Jumlah siswanya kini sekitar 253
siswa. Satri saya yang pertama mondok ke saya juga mengajar di SMK An
Nur,’’ kata bapak dari Wakil Bupati (Wabup) Blora H Arief Rohman
ini.
Pembangunan MTs
Berbeda dengan pendirian SMK yang
relatif lancar, pembangunan MTs An Nur, kata Ali Muchdhor, menemui
sejumlah kendala. Dia yang juga menjabat wakil rois syuriah NU Blora
ini mengungkapkan tidak sedikit pihak yang menentang pembangunan MTs
An Nur. Mereka khawatir keberadaan MTs An Nur bisa berdampak pada
menurunnya jumlah murid di sekolah yang sudah ada.
Santri mengikuti kegiatan Kirab Hari Santri Nasional 22 Oktober 2016 silam. (foto: dok-ponpes) |
Dari pemikiran itulah Ali Muchdhor
mulai merintis pembangunan MTs. Setelah semua sarana dan prasarana
terbangun, MTs itupun diresmikan. Tak tanggung-tanggung, peresmian
dilakukan Ketua Umum PBNU KH Aqil Siraj, Kamis 10 Oktober 2013. Saat
awal menerima siswa, tercatat jumlah siswa yang mendaftar sebanyak 54
orang. Kini jumlah siswa lebih dari 200 orang.
“Jadi sebenarnya pondok, SMK dan MTs
ini masih baru, karena memang dari awal tidak bercita-cita mendirikan
pondok pesantren,’’ kata kyai penyandang gelar magister psikologi
pendidikan Islam dari Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang ini.
Lantaran sejak awal tidak pernah
bercita-cita membangun pondok pesantren yang dilengkapi pendidikan
formal, Ali Muchdhor pun sempat merelakan kitab kuning yang
dimilikinya semasa mondok diberikan kepada rekan-rekannya yang
menjadi kyai.
“Dulu saat awal-awal ngajar di pondok
sendiri sempat bingung, lha wong kitabnya saya berikan ke
teman-teman,’’ ucapnya.
Dia menambahkan selepas lulus SMP di
Blora, Ali Muchdhor sempat nyantri di sejumlah pondok pesantren.
Diawali di ponpes Annuroniyah Sulang, Rembang. Kemudian di ponpes
Futuhiyyah, Mranggen, Demak. Selanjutnya di ponpes Mambaul Ulum,
Pakis, Tayu Pati, ponpes Al Ittihad, Poncol Popongan Bringin,
Kabupaten Semarang dan terakhir di ponpes Sirojul Hikmah, Tanggir,
Singgahan Tuban. ‘’Saya mondoknya pindah-pindah. Setelah mondok,
kemudian saya sekolah KPG ijasahnya SPG,’’ ungkap alumnus IKIP
PGRI Semarang ini.
Ali Muchdhor menyadari, antar sekolah
bersaing untuk mendapatkan siswa. Menjelang tahun pelajaran baru,
sekolah-sekolah melakukan sosialisasi ke sekolah lainnya di jenjang
yang lebih rendah. Menurutnya, hal itu wajar dan An Nur juga
melakukan hal itu.
“Kita mempunyai kewajiban untuk terus
meningkatkan kualitas pengajaran. Sekolah yang berbasis pondok
pesantren Insya Allah akan semakin diminati masyarakat,’’ ujar
Ali Muchdhor yang pernah menjadi PNS guru SD, kepala sekolah SD dan
terakhir menjabat pengawas SD Kecamatan Banjarejo sebelum pensiun 1
Juli 2015.
Menurutnya, tidak semua siswa SMK dan
MTs An Nur mondok di ponpes An Nur. Yang mondok hanya sekitar 85
orang, terbanyak adalah siswa MTs. Namun Ali Muchdhor menyatakan,
pembelajaran di pondok juga diterapkan kepada para siswa MTs dan SMK.
Mereka diharuskan sudah harus tiba di sekolah pukul 06.30 Wib. Proses
pembelajaran diawali dengan sholat Dhuha. Selain itu, para siswa
sekolah formal juga diupayakan bisa hapal Alquran minimal dua juz.
“Khusus untuk santri, minimal bisa
baca kitab kuning. Oleh karena itu kepada mereka diajarkan nahwu
shorof,’’ tandas kyai yang juga dosen di dua sekolah tinggi di
Blora ini.
Selain pengajaran di ponpes dan
sekolah, hal lainnya yang sempat terpikir oleh Ali Muchdhor adalah
bagaimana kelak pondok dan pesantrennya itu bisa berkembang
sepeninggal dia. Sebab, Ali Muchdhor melihat tidak sedikit pondok
yang tutup setelah kyainya meninggal dunia.
“Dulu saat awal-awal membangun pondok
dan sekolah, saya angan-angan bikin
pondok itu mudah. Andaikan saya meninggal siapa yang meneruskan
pondok, itu yang saya pikirkan. Tapi, Alhamdulillah, setelah
saya punya menantu, saya
rintis sekolah. Sehingga, andaikan
saya meninggal kelak, sudah ada
penerusnya,’’ pungkas pria kelahiran Blora, 15 Juni 1955
ini. (Muiz | ip-ib)
0 komentar:
Posting Komentar