![]() |
Grup Barongan Blora "Risang Guntur Seto" saat tampil memukau di International Ethnic Culture Festival 2011 lalu |
“Saya warga
Blora yang bekerja di luar daerah ingin mengungkapkan rasa bangga terhadap seni
tradisional khususnya barongan "Risang Guntur Seto". Barongan
tersebut tampil dalam acara pembukaan Festival Reog Nasional Februari lalu.
Saya tahu persis, untuk tampil di event akbar tersebut tidaklah mudah. ...
"
BLORA. Dia atas adalah nukilan surat pembaca di Jawa Pos yang ditulis Bambang Wicaksono.
Surat pembaca yang dimuat pada 23 Maret 2003 itu, sebagai bentuk apresiasi
terhadap Risang Guntur Seto, group barongan di Kelurahan Kunden, Kecamatan
Blora, tak lama setelah group barongan pimpinan Adi Wibowo tersebut menjadi
bintang tamu dalam Festival Reog Nasional, Februari 2003, di Ponorogo.
Risang
Guntur Seto, bukanlah nama yang asing bagi masyarakat Blora. Nama besar group
barongan yang didirikan pada 20 Mei 1999 itu, bahkan sudah dikenal di kalangan
pelaku seni tradisional Indonesia. Undangan tampil sebagai bintang tamu dalam
Festival Reog Nasional pada Februari 2003 di Ponorogo, cukup menjadi
pembuktian.
Menurut
Adi Wibowo, tampil di Ponorogo itu ibarat masuk kandang harimau. Sebab,
Ponorogo merupakan gudangnya seniman reog, sehingga tidak mudah mendapatkan
kepercayaan menjadi bintang tamu.
Kesempatan
untuk mengenalkan Barongan Blora kepada publik yang lebih luas di tanah air,
tidak didapat Didik –sapaan Adi Wibowo- dan group barongan yang dipimpiinnya,
tidak didapat begitu saja. Sejak lama, laki-laki kelahiran Blora, 2 April 1971
itu, merancangnya dalam mimpi-mimpi.
Dari
kecil, Didik telah mencintai seni tradisional ini. Kecintaan lelaki yang
menikahi Dameria Harahap, semakin membuncah, saat ia melanjutkan studi di
STIKOM Surabaya. Di sana, ia banyak berkenalan dengan pekerja boro (proyek),
yang ternyata tak sedikit di antaranya merupakan seniman reog. Ia pun kemudian
berpikir, “Kenapa Barongan Blora tidak bisa sebesar Reog?"
Pertemuan
dengan para pekerja boro itu selalu mengusik pikirannya. Ia pun mematri
keinginan dan impian bahwa suatu saat akan membawa Barongan Blora pentas di
Ponorogo, di “negeri” para seniman Reog.
Sepulang
dari Surabaya, selepas lulus kuliah pada 1999, Didik mendirikan group barongan
Risang Guntur Seto. Latihan digelar rutin. Tersebutlah nama Seren, salah satu
seniman Barongan Blora, dan Sih Setyarum, sang ibunda, yang memberikan support
sejak awal.
Buah
dari latihan tanpa kenal lelah yang dilakoninya, ia dan group yang didirikannya
pun mulai mendapatkan kesempatan manggung di berbagai pagelaran dan forum.
Group barongan yang didirikannya pun ikut menorehkan tinta emas melalui
berbagai debutnya, antara lain menjadi bintang tamu pada Festival Reog Nasional
(2003), pentas di Taman Mini Indonesia Indah (2003), tampil di Bengawan Solo
Fair (2004), dan Lomba dan Kontes Ternak Nasional (2010).
Dan
yang takkan pernah terlupakan oleh Risang Guntur Seto, adalah terpilihnya
menjadi juara II dalam International Etnic Culture Festival (IECF) di Monumen
Serangan Oemoem Yogyakarta (2011) dan dinobatkan sebagai salah satu penyaji
terbaik dalam Borobudur International Festival (2003).
![]() |
Penari Barongan Blora |
Butuh Pelatihan
Menjadi
seniman barongan, butuh komitmen dan konsistensi untuk selalu berlatih.
Pelatihan rutin dilakukan, supaya saat pentas tidak keluar dari riil yang
semestinya. Sebab dalam pengamatannya, masih ada group barongan di Blora yang
sewaktu pentas justru keluar dari konteks sejarah yang ada.
Salah
satu contoh yang dikemukakan Didik, yaitu saat ia pernah melihat ada group
barongan, saat pentas, membawakan peran sebagai Hanoman. Baginya, itu sangat
keliru, karena Hanoman itu tokoh dalam pewayangan.
Di
sinilah pentingnya latihan bagi para seniman barongan. Yakni untuk menyatukan
persepsi soal laras, topeng, dan juga memberikan pemahaman mengenai
tokoh-tokohnya. Reog, kata Didik, di mana pun dipentaskan, akan selalu sama.
Pun demikian dengan Leak Bali, tidak ada yang berbeda penampilan antara satu
group dengan lainnya.
Mengenai
lakon (tokoh) yang harus ada dalam barongan, Didik menjelaskan, yaitu Gembong
Amijoyo, Joko Lodra (Gendruwon), Ki Lurah Untup, Ki Noyontoko, Mbok Gainah,
Bujangganong, dan Jaranan. Jika kemudian ada group barongan yang membawakan
tokoh Warok atau Hanoman di dalamnya, berarti sudah keluar dari akar sejarah.
Mengenai
adanya perbedaan dan ketidaktepatan dalam pementasan barongan yang terjadi,
Didik menegaskan sebagai kesalahan bersama yang harus diperbaiki dengan
menggelar pelatihan-pelatihan secara rutin, bukan kemudian membiarkannya
berlarut-larut, melainkan harus meluruskannya secara bertahap. (rs-infoBlora | kontributor : rsd-http://www.kompi.org/)
0 komentar:
Posting Komentar